Nama : Nur Oktafiyani
Kelas : 4EB10
NPM : 26213621
Tugas 6 : Artikel Perpajakan Internasional
Artikel 1.
Memahami Persoalan Pajak Global
PERSOALAN terkait pajak internasional seperti
persaingan pajak (tax competition), negara tax haven, serta ketimpangan
distribusi pendapatan kerap kali merugikan baik negara maju, dan terutama
negara berkembang. Lantas, bagaimanakah para pengambil kebijakan menyikapi hal
ini?
Buku bertajuk Global Tax Fairness ini
memaparkan usulan dari berbagai kontributor ahli untuk memperbaiki sistem pajak
internasional. Buku terbitan Oxford University Press pada tahun 2016 ini sangat
menarik karena solusi yang ditawarkan tidak terbatas hanya pada solusi yang
sering dibahas oleh organisasi internasional seperti OECD, namun juga
usulan yang mungkin sedikit asing atau tidak pernah digagas sebelumnya.
Dalam salah satu bab, Vito Tanzi menjelaskan
perlunya dibentuk Otoritas Pajak Global (Global Tax Authority). Menurutnya,
dalam era globalisasi di mana telah banyak muncul organisasi internasional yang
menangani berbagai isu, belum ada sebuah organisasi yang mengatur hubungan
perpajakan antarnegara, menangani masalah persaingan pajak, serta membatasi
kesempatan untuk melakukan penghindaran pajak secara global (global tax
evasion).
Nantinya, terdapat sembilan fungsi otoritas ini,
mulai dari mengidentifikasi permasalahan di bidang pajak internasional,
mengumpulkan informasi dan statistik perpajakan dari berbagai negara serta
memublikasikannya dalam sebuah laporan, sampai yang paling penting yakni
membuat sistem pengawasan kebijakan pajak di berbagai negara.
Vito Tanzi berpendapat bahwa tanpa adanya institusi
seperti Otoritas Pajak Global, permasalahan terkait kompetisi pajak yang tidak
adil dan penghindaran pajak akan selalu ada.
Buku yang disunting oleh Thomas Pogge dan Krishen
Mehta ini menekankan persaingan pajak (tax competition) adalah sebuah isu
serius, karena merupakan suatu obsesi yang berbahaya. Berbagai negara bersaing
untuk menurunkan tarif pajak mereka, memperkecil basis pajak, serta melemahkan
pelaksanaan peraturan pajak (race to the bottom). Persaingan pajak kemudian
dianggap membuat arus investasi terfokus pada wilayah yang menyediakan berbagai
insentif daripada wilayah dengan produktifitas ekonomi yang tinggi.
Pentingnya isu persaingan pajak juga diulas oleh
Michael C. Durst dalam artikelnya. Menurutnya, menurunnya tarif pajak badan
memiliki pengaruh yang besar bagi negara berkembang. Jika negara maju dapat
mengalihkan beban pajak tersebut kepada sektor lain seperti pajak individu atau
pajak konsumsi, penerimaan pajak negara berkembang cenderung bertumpu pada
pajak badan.
Hal ini disebabkan karena perekonomian negara
berkembang masih didominasi oleh sektor informal dengan pembukuan sederhana
yang sulit untuk memfasilitasi kebutuhan otoritas pajak atas laporan pajak.
Selain pembahasan di atas, terdapat usulan-usulan
lain seperti Financial Transaction Tax (FTT) dan pajak untuk kekayaan
anonim (Anonymous Wealth Tax) sebagai solusi untuk mengurangi permasalahan
distribusi pendapatan.
Usulan pemajakan atas ‘kekayaan tak bertuan’
terbilang unik karena pemilik harta dapat mengambil kembali sebagian porsi
pajak tersebut saat ia telah menyelesaikan kewajiban perpajakan dalam negeri
dan aset yang dimiliki di negara lain berasal dari sumber yang sah. Pendapatan
dari pajak tersebut kemudian akan dialokasikan untuk membiayai penanganan isu
global seperti perubahan iklim sebagai kompensasi atas penghindaran pajak yang
telah dilakukan.
Sebagai penutup, terdapat pemaparan mengenai 10 cara
bagi negara berkembang agar dapat menarik investasi asing sekaligus
mempertahankan kedaulatan pajaknya.
Selain rekomendasi untuk menghindari persaingan
pajak dan insentif pajak, penulis memberikan usulan lain kepada negara
berkembang, mulai dari usulan untuk lebih berhati-hati dalam menyepakati
perjanjian bilateral pajak atau tax treaty, mengenakan withholding
tax bagi non-residen, mengatur sebuah kesepakatan yang adil dengan
investor di industri ekstraktif, penggunaan profit split method dalam transfer
pricing, sampai saran untuk memajaki sektor informal.
Secara keseluruhan, para kontributor mengajak
pembaca untuk semakin peduli dengan permasalahan pajak internasional dan
dampaknya terutama terhadap negara berkembang. Buku ini sesuai untuk dibaca
para pengambil kebijakan dan tersedia di DDTC Library. (Amu)
Artikel 2.
Mengulik Harta Karun di Negara Tax Havens
“Why the Rich are Staying Rich?”
PERTANYAAN umum tersebut menjadi
pembuka buku yang berjudul Treasure Islands: Tax Havens and the Men who
Stole the World yang ditulis oleh Nicholas Shaxson tahun 2011 silam. Dalam
bukunya, Shaxson mengatakan adanya peran dari negara-negara tax haven (surga
pajak) menjadi salah satu penyebab mengapa orang kaya di dunia semakin kaya.
Hingga saat ini, tidak ada
definisi yang pasti mengenai apa itu tax havens? Pada bagian awal buku ini
Shaxson menjelaskan definisi tax havens secara luas. Tax havens adalah
sebuah tempat atau negara yang berusaha menarik uang dengan menawarkan sejumlah
fasilitas yang stabil secara politis untuk membantu individu atau perusahaan
dalam mengatasi peraturan atau Undang-Undang di negara lain.
Ada dua alasan mengapa Shaxson
mendefinisikan tax havens secara luas. Pertama, bertujuan
untuk menentang gagasan umum yang menyatakan bahwa sangat baik bagi suatu
yurisdiksi untuk menjalankan hak kedaulatannya untuk menjadi kaya dengan
merongrong hukum dan peraturan di negara lain.
Kedua, untuk Shaxson
menawarkan sebuah lensa untuk melihat sejarah dunia modern, dimana definisi tax
havens tersebut dapat menunjukkan bagaimana sistem offshore bukan
hanya sebagai pelengkap warna-warni dipinggiran ekonomi global, tetapi juga
terletak pada pusat ekonomi dunia.
Sementara, definisi umum lainnya
tentang tax havens yang harus disoroti dari sisi pajak yakni sebuah
penanda bagi suatu negara yang menerapkan tarif pajak individu maupun
perusahaan dengan sangat rendah atau bahkan pajak dengan tarif 0%. Individu
atau perusahaan akan menggunakan fasilitas tersebut dengan tujuan untuk
menghindari pajak, baik secara legal maupun illegal.
Tax havens tidak hanya
menawarkan pelarian pajak, tapi juga sebagai wadah yang menyediakan fasilitas
bagi para kaum elite atau orang-orang kaya dan berkuasa untuk menjaga
kerahasiaannya dan melakukan segala cara untuk mengabaikan hukum dan
kewajibannya.
Lebih lanjut, dalam buku ini
Shaxson memperkirakan bahwa terdapat sekitar US$12 triliun atau seperempat dari
kekayaan dunia tidak terjangkau di tempat yang bebas pajak tersebut (tax havens).
Setiap perusahaan yang tercantum dalam The Financial Times Stock Exchange (FTSE)
100 pasti memiliki anak perusahaan atau mitra yang berlokasi di negara tax
havens.
Saat ini, kita semua pasti sudah
tidak asing lagi dengan nama-nama negara yang terkait dengan kasus penghindaran
pajak. Berikut beberapa daftar negara yang dijuluki sebagai negara tax
havens. Pertama, adalah negara bekas jajahan kekaisaran Inggris, yakni
Jersey, Guernsey, Isle of Man, Caymans, Kepulauan Turks dan Caicos, Gibraltar,
Irlandia dan Hong Kong.
Kedua adalah Swiss, Luksemburg,
Lichtenstein dan Monaco. Ketiga adalah "sisanya" yaitu
Panama, Gabon dan pendatang baru seperti Belanda dan Ghana. Jadi, pada
dasarnya, kita memiliki koleksi tempat-tempat yang berguna bagi mereka yang
ingin memaksimalkan keuntungannya dengan lari dari kewajiban pajaknya.
Ada salah satu bab yang menarik
dalam buku ini yang menceritakan tentang keluarga Vestey dan bagaimana mereka
melindungi kekayaan mereka dengan menggunakan sistem kepercayaan offshore yang
sederhana namun efektif. Uniknya keluarga Vestey tidak melakukannya sendiri.
Keluarga Vestey menerapkan dua
aturan utama dalam bisnis yang mereka jalani yaitu pertama, “jangan
pernah mengungkapkan apa yang anda rencanakan”. Kedua, “jangan
biarkan orang lain melakukan sesuatu untuk anda jika anda bisa melakukannya
sendiri”.
Dengan menggunakan sistem offshore, keluarga
Vestey memberi nama yang berbeda kepada perusahaannya untuk menyamarkan
kepemilikan dan membeli saingannya, dan jika ada yang menolak, keluarga Vestey
akan menggunakan kekuatan pasar yang berasal dari rantai pasokan yang mereka
miliki untuk mengusir pesaing lainnya dari rantai bisnis tersebut.
Shaxson memaparkan bahwa kita
harus memerangi sistem offshore yang saat ini marak digunakan untuk
tujuan penghindaran pajak. Terdapat sepuluh area utama yang dapat kita rubah,
yaitu:
Pentingnya melakukan
transparansi;
Prioritaskan kebutuhan
negara-negara berkembang;
Hadapi spiderweb Inggris,
elemen tunggal yang paling penting dan paling agresif dalam sistem offshore secara
global;
Onshore tax reform;
Kepemimpinan dan tindakan
sepihak;
Menangani perantara dan pengguna
swasta atas offshore di luar negeri;
Perhatian khusus terhadap sektor
keuangan sebagai area reformasi yang luas;
Memikirkan ulang tanggung jawab
perusahaan;
Mengevaluasi kembali peringkat
korupsi negara; dan
Mengubah budaya di masing-masing
negara.
Di akhir buku, Shaxson
mengeluarkan seruan untuk memberikan senjata kepada pemerintah dan regulator
untuk menghapuskan tax haven di berbagai negara.
Pada initinya buku ini berfokus
pada bagaimana suatu individu atau perusahaan yang memanfaatkan offshore
company pada negara-negara tax havens untuk memberikan
keuntungan dalam hal menghindari besarnya kewajiban pajak yang harus
ditanggung. Serta perlawanan negara-negara untuk membatasi masalah tersebut.
Artikel 3.
Ini
Dampak Reformasi Pajak Trump Bagi Ekonomi AS dan Dunia
WASHINGTON, DDTCNews – Menteri Keuangan Amerika
Serikat (AS) Steven Mnuchin dalam sebuah konferensi di Beverly Hills mengatakan
kepada para investor bahwa rencana reformasi pajak Trump dapat merangsang
pertumbuhan ekonomi AS.
Mnuchin mengatakan reformasi pajak Trump dalam
memangkas tarif pajak perusahaan menjadi 15% maupun penyederhanaan tarif pajak
orang pribadi ke dalam tiga lapisan dinilai dapat mempercepat laju pertumbuhan
ekonomi sekitar 2%-3% per tahun.
“Berdasarkan data yang tercatat, selama tiga bulan
terakhir pertumbuhan ekonomi AS sudah menunjukkan kenaikan hingga sebesar
0,7%,”ungkapnya, Senin (1/5).
Pro kontra atas rencana reformasi pajak Trump terus
bergulir, berdasarkan hasil survei nasional yang diprakarsai oleh Polling
Bisnis dan Ekonomi Florida Atlantic University (FAU), dikatakan bahwa dari 812
orang yang disurvei, sebanyak 34% mendukung rencana tersebut, 41% menentang
rencana Trump dan 25% ragu-ragu atas rencana tersebut.
“Lebih dari 40% tidak setuju dengan gagasan bahwa
menurunkan tarif pajak individu maupun perusahaan dapat merangsang dan
meningkatkan pertumbuhan ekonomi AS,” ungkap juru bicara dari FAU seperti
dilansir dalam palmbeachpost.com.
Walaupun rencana reformasi pajak akan diterapkan di
AS, kebijakan tersebut dinilai akan menimbulkan dampak ekonomi secara global.
Peneliti Pajak DDTC Bawono Kristiaji menjelaskan bahwa akan ada potensi yang
membahayakan dari rencana kebijakan Trump tersebut.
Sebagai kekuatan ekonomi nomor satu dunia, lanjut
Bawono, langkah AS menurunkan tarif pajak tersebut dinilai akan mendapat
respons cepat dari berbagai negara besar dan kelompok-kelompok ekonomi dunia
lainnya.
“Negara lainnya juga akan mengambil langkah dengan
menurunkan tarif pajak korporasinya. Pasalnya, selama ini perekonomian dunia
berada dalam keseimbangan dengan AS menerapkan pajak korporasi yang paling
tinggi,” kata Bawono.
Ketika AS memutuskan untuk menurunkan pajak
korporasinya, langkah paling logis bagi negara-negara lain seperti China, Uni
Eropa, dan BRICS adalah membalas (counter measure) kebijakan serupa. Menurut
Bawono, kondisi semacam itu akan menciptakan disorder baru.
"Apabila AS jadi menurunkan corporate tax menjadi
15%, sementara Indonesia tetap pada level 25%, yang terjadi adalah
restrukturisasi bisnis akan dilakukan oleh perusahaan asal negeri Paman Sam
tersebut. Perusahaan tersebut akan memilih untuk membayar pajak di AS ketimbang
di Indonesia," pungkasnya.
Artikel 4.
Penerapan PPN akan Menekan Bisnis di Negara GCC
JAKARTA, DDTCNews – Lembaga Pemeringkat Jasa
Keuangan Fitch Ratings menilai pemberlakuan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang
akan diterapkan di negara-negara Teluk (Gulf Cooperation Council/GCC) akan
menciptakan risiko operasional dan keuangan bagi perusahaan. Tidak hanya itu,
arus kas di beberapa industri juga akan mengalami tekanan akibat adanya
penyesuaian pasar.
Berdasarkan laporan Fitch Ratings proses
mengumpulkan dan menyerahkan PPN kepada pemerintah juga patut untuk
diperhatikan. Pasalnya, hal ini akan menambah biaya kepatuhan bagi perusahaan-perusahaan
yang memiliki margin tipis, sehingga dapat mempengaruhi arus kas perusahaan.
“Persaingan sengit di beberapa sektor juga dapat
menempatkan tekanan pada perusahaan untuk memotong harga sebelum pajak dan
menyerap beberapa biaya yang dikeluarkan. Hal ini kemungkinan besar dapat
terjadi di sektor-sektor seperti telekomunikasi, konsultan dan kontraktor dan
akan berbeda di setiap negara,” ungkap pernyataan tertulis dalam laporan Fitch
Ratings, (15/2).
Pemerintah di negara-negara GCC telah sepakat untuk
memungut PPN pada awal 2018. Beberapa negara GCC juga sepakat untuk menerapkan
pajak selektif pada produk tembakau dan minuman ringan tahun lalu. Hal ini
dilakukan untuk meningkatkan penerimaan dari sektor non-minyak telah menjadi
prioritas bagi negara GCC yang telah merasakan tekanan keuangan akibat
anjloknya harga minyak dari puncak pertengahan 2014.
Meskipun secara perlahan harga minyak mulai membaik,
namun Pemerintah di negara GCC akan terus menjalankan langkah-langkah
penghematan dan melakukan reformasi untuk mengurangi ketergantung terhadap
penerimaan dari minyak dunia.
Menurut Fitch Ratings, seperti dilansir dalam Meed,
risiko jangka panjang dari penerapan PPN adalah adanya potensi kesalahan dalam
mengumpulkan dan perhitungan pajak. Kendati demikian, dampak ini dapat
diminimalisir apabila negara-negara anggota GCC membuat Undang-Undang
nasionalnya sendiri untuk lebih memperkuat penerapan PPN di negaranya.
Fitch Ratings menambahkan nantinya perusahaan yang
terlibat dalam memasok barang dan jasa antara anggota GCC ini, kemungkinan
besar akan menghadapi kompleksitas tambahan karena perjanjian antara anggota
GCC bisa bervariasi.
Di sisi lain, penerapan PPN menjadi salah satu yang
penting dalam meningkatkan penerimaan negara. Indonesia sendiri telah mengimplementasikan
sistem PPN sejak 1985 untuk menggantikan sistem pajak penjualan yang diterapkan
sebelumnya. Walaupun telah menerapkan sejak lama namun masih banyak
permasalahan yang timbul dari diterapkannya PPN khususnya bagi kegiatan usaha.
Guna mengembangkan pemahaman lebih mendalam mengenai
konsep dan penerapan PPN khususnya di sektor-sektor tertentu seperti sektor
pertambangan, jasa keuangan, dan lain-lain, DDTC Academy menyelenggarakan
seminar bertajuk Pajak Pertambahan Nilai (PPN) Indonesia Tingkat Lanjut -
Isu Terpilih pada pekan depan, Selasa 14 Maret 2017.
Sumber
:
-
http://news.ddtc.co.id/artikel/8195/pajak-internasional-memahami-persoalan-pajak-global/
-
http://news.ddtc.co.id/artikel/10025/pajak-internasional-mengulik-harta-karun-di-negara-tax-havens/
-
http://news.ddtc.co.id/artikel/10019/amerika-serikat-ini-dampak-reformasi-pajak-trump-bagi-ekonomi-as-dan-dunia/
-
http://news.ddtc.co.id/artikel/9507/negara-negara-teluk-penerapan-ppn-akan-menekan-bisnis-di-negara-gcc/
-