Senin, 22 Mei 2017

Tugas 6 : Akuntansi Internasional#

Nama : Nur Oktafiyani
Kelas : 4EB10
NPM : 26213621
Tugas 6 : Artikel Perpajakan Internasional
Artikel 1.
Memahami Persoalan Pajak Global
PERSOALAN terkait pajak internasional seperti persaingan pajak (tax competition), negara tax haven, serta ketimpangan distribusi pendapatan kerap kali merugikan baik negara maju, dan terutama negara berkembang. Lantas, bagaimanakah para pengambil kebijakan menyikapi hal ini?
Buku bertajuk Global Tax Fairness ini memaparkan usulan dari berbagai kontributor ahli untuk memperbaiki sistem pajak internasional. Buku terbitan Oxford University Press pada tahun 2016 ini sangat menarik karena solusi yang ditawarkan tidak terbatas hanya pada solusi yang sering dibahas oleh organisasi internasional seperti OECD, namun juga usulan yang mungkin sedikit asing atau tidak pernah digagas sebelumnya.
Dalam salah satu bab, Vito Tanzi menjelaskan perlunya dibentuk Otoritas Pajak Global (Global Tax Authority). Menurutnya, dalam era globalisasi di mana telah banyak muncul organisasi internasional yang menangani berbagai isu, belum ada sebuah organisasi yang mengatur hubungan perpajakan antarnegara, menangani masalah persaingan pajak, serta membatasi kesempatan untuk melakukan penghindaran pajak secara global (global tax evasion). 
Nantinya, terdapat sembilan fungsi otoritas ini, mulai dari mengidentifikasi permasalahan di bidang pajak internasional, mengumpulkan informasi dan statistik perpajakan dari berbagai negara serta memublikasikannya dalam sebuah laporan, sampai yang paling penting yakni membuat sistem pengawasan kebijakan pajak di berbagai negara.
Vito Tanzi berpendapat bahwa tanpa adanya institusi seperti Otoritas Pajak Global, permasalahan terkait kompetisi pajak yang tidak adil dan penghindaran pajak akan selalu ada.
Buku yang disunting oleh Thomas Pogge dan Krishen Mehta ini menekankan persaingan pajak (tax competition) adalah sebuah isu serius, karena merupakan suatu obsesi yang berbahaya. Berbagai negara bersaing untuk menurunkan tarif pajak mereka, memperkecil basis pajak, serta melemahkan pelaksanaan peraturan pajak (race to the bottom). Persaingan pajak kemudian dianggap membuat arus investasi terfokus pada wilayah yang menyediakan berbagai insentif daripada wilayah dengan produktifitas ekonomi yang tinggi.
Pentingnya isu persaingan pajak juga diulas oleh Michael C. Durst dalam artikelnya. Menurutnya, menurunnya tarif pajak badan memiliki pengaruh yang besar bagi negara berkembang. Jika negara maju dapat mengalihkan beban pajak tersebut kepada sektor lain seperti pajak individu atau pajak konsumsi, penerimaan pajak negara berkembang cenderung bertumpu pada pajak badan.
Hal ini disebabkan karena perekonomian negara berkembang masih didominasi oleh sektor informal dengan pembukuan sederhana yang sulit untuk memfasilitasi kebutuhan otoritas pajak atas laporan pajak.
Selain pembahasan di atas, terdapat usulan-usulan lain seperti Financial Transaction Tax (FTT) dan pajak untuk kekayaan anonim (Anonymous Wealth Tax) sebagai solusi untuk mengurangi permasalahan distribusi pendapatan.
Usulan pemajakan atas ‘kekayaan tak bertuan’ terbilang unik karena pemilik harta dapat mengambil kembali sebagian porsi pajak tersebut saat ia telah menyelesaikan kewajiban perpajakan dalam negeri dan aset yang dimiliki di negara lain berasal dari sumber yang sah. Pendapatan dari pajak tersebut kemudian akan dialokasikan untuk membiayai penanganan isu global seperti perubahan iklim sebagai kompensasi atas penghindaran pajak yang telah dilakukan.   
Sebagai penutup, terdapat pemaparan mengenai 10 cara bagi negara berkembang agar dapat menarik investasi asing sekaligus mempertahankan kedaulatan pajaknya.
Selain rekomendasi untuk menghindari persaingan pajak dan insentif pajak, penulis memberikan usulan lain kepada negara berkembang, mulai dari usulan untuk lebih berhati-hati dalam menyepakati perjanjian bilateral pajak atau tax treaty, mengenakan withholding tax bagi non-residen, mengatur sebuah kesepakatan yang adil dengan investor di industri ekstraktif, penggunaan profit split method dalam transfer pricing, sampai saran untuk memajaki sektor informal.
Secara keseluruhan, para kontributor mengajak pembaca untuk semakin peduli dengan permasalahan pajak internasional dan dampaknya terutama terhadap negara berkembang. Buku ini sesuai untuk dibaca para pengambil kebijakan dan tersedia di DDTC Library. (Amu)
Artikel 2.
Mengulik Harta Karun di Negara Tax Havens
“Why the Rich are Staying Rich?”
PERTANYAAN umum tersebut menjadi pembuka buku yang berjudul Treasure Islands: Tax Havens and the Men who Stole the World yang ditulis oleh Nicholas Shaxson tahun 2011 silam. Dalam bukunya, Shaxson mengatakan adanya peran dari negara-negara tax haven (surga pajak) menjadi salah satu penyebab mengapa orang kaya di dunia semakin kaya.
Hingga saat ini, tidak ada definisi yang pasti mengenai apa itu tax havens? Pada bagian awal buku ini Shaxson menjelaskan definisi tax havens secara luas. Tax havens adalah sebuah tempat atau negara yang berusaha menarik uang dengan menawarkan sejumlah fasilitas yang stabil secara politis untuk membantu individu atau perusahaan dalam mengatasi peraturan atau Undang-Undang di negara lain.
Ada dua alasan mengapa Shaxson mendefinisikan tax havens secara luas. Pertama, bertujuan untuk menentang gagasan umum yang menyatakan bahwa sangat baik bagi suatu yurisdiksi untuk menjalankan hak kedaulatannya untuk menjadi kaya dengan merongrong hukum dan peraturan di negara lain.
Kedua, untuk Shaxson menawarkan sebuah lensa untuk melihat sejarah dunia modern, dimana definisi tax havens tersebut dapat menunjukkan bagaimana sistem offshore bukan hanya sebagai pelengkap warna-warni dipinggiran ekonomi global, tetapi juga terletak pada pusat ekonomi dunia.
Sementara, definisi umum lainnya tentang tax havens yang harus disoroti dari sisi pajak yakni sebuah penanda bagi suatu negara yang menerapkan tarif pajak individu maupun perusahaan dengan sangat rendah atau bahkan pajak dengan tarif 0%. Individu atau perusahaan akan menggunakan fasilitas tersebut dengan tujuan untuk menghindari pajak, baik secara legal maupun illegal.
Tax havens tidak hanya menawarkan pelarian pajak, tapi juga sebagai wadah yang menyediakan fasilitas bagi para kaum elite atau orang-orang kaya dan berkuasa untuk menjaga kerahasiaannya dan melakukan segala cara untuk mengabaikan hukum dan kewajibannya.
Lebih lanjut, dalam buku ini Shaxson memperkirakan bahwa terdapat sekitar US$12 triliun atau seperempat dari kekayaan dunia tidak terjangkau di tempat yang bebas pajak tersebut (tax havens). Setiap perusahaan yang tercantum dalam The Financial Times Stock Exchange (FTSE) 100 pasti memiliki anak perusahaan atau mitra yang berlokasi di negara tax havens.
Saat ini, kita semua pasti sudah tidak asing lagi dengan nama-nama negara yang terkait dengan kasus penghindaran pajak. Berikut beberapa daftar negara yang dijuluki sebagai negara tax havens. Pertama, adalah negara bekas jajahan kekaisaran Inggris, yakni Jersey, Guernsey, Isle of Man, Caymans, Kepulauan Turks dan Caicos, Gibraltar, Irlandia dan Hong Kong.
Kedua adalah Swiss, Luksemburg, Lichtenstein dan Monaco. Ketiga adalah "sisanya" yaitu Panama, Gabon dan pendatang baru seperti Belanda dan Ghana. Jadi, pada dasarnya, kita memiliki koleksi tempat-tempat yang berguna bagi mereka yang ingin memaksimalkan keuntungannya dengan lari dari kewajiban pajaknya.
Ada salah satu bab yang menarik dalam buku ini yang menceritakan tentang keluarga Vestey dan bagaimana mereka melindungi kekayaan mereka dengan menggunakan sistem kepercayaan offshore yang sederhana namun efektif. Uniknya keluarga Vestey tidak melakukannya sendiri.
Keluarga Vestey menerapkan dua aturan utama dalam bisnis yang mereka jalani yaitu pertama, “jangan pernah mengungkapkan apa yang anda rencanakan”. Kedua, “jangan biarkan orang lain melakukan sesuatu untuk anda jika anda bisa melakukannya sendiri”.
Dengan menggunakan sistem offshore, keluarga Vestey memberi nama yang berbeda kepada perusahaannya untuk menyamarkan kepemilikan dan membeli saingannya, dan jika ada yang menolak, keluarga Vestey akan menggunakan kekuatan pasar yang berasal dari rantai pasokan yang mereka miliki untuk mengusir pesaing lainnya dari rantai bisnis tersebut.
Shaxson memaparkan bahwa kita harus memerangi sistem offshore yang saat ini marak digunakan untuk tujuan penghindaran pajak. Terdapat sepuluh area utama yang dapat kita rubah, yaitu:
Pentingnya melakukan transparansi;
Prioritaskan kebutuhan negara-negara berkembang;
Hadapi spiderweb Inggris, elemen tunggal yang paling penting dan paling agresif dalam sistem offshore secara global;
Onshore tax reform;
Kepemimpinan dan tindakan sepihak;
Menangani perantara dan pengguna swasta atas offshore di luar negeri;
Perhatian khusus terhadap sektor keuangan sebagai area reformasi yang luas;
Memikirkan ulang tanggung jawab perusahaan;
Mengevaluasi kembali peringkat korupsi negara; dan
Mengubah budaya di masing-masing negara.
Di akhir buku, Shaxson mengeluarkan seruan untuk memberikan senjata kepada pemerintah dan regulator untuk menghapuskan tax haven di berbagai negara. 
Pada initinya buku ini berfokus pada bagaimana suatu individu atau perusahaan yang memanfaatkan offshore company pada negara-negara tax havens untuk memberikan keuntungan dalam hal menghindari besarnya kewajiban pajak yang harus ditanggung. Serta perlawanan negara-negara untuk membatasi masalah tersebut.
Artikel 3.
Ini Dampak Reformasi Pajak Trump Bagi Ekonomi AS dan Dunia
WASHINGTON, DDTCNews – Menteri Keuangan Amerika Serikat (AS) Steven Mnuchin dalam sebuah konferensi di Beverly Hills mengatakan kepada para investor bahwa rencana reformasi pajak Trump dapat merangsang pertumbuhan ekonomi AS.
Mnuchin mengatakan reformasi pajak Trump dalam memangkas tarif pajak perusahaan menjadi 15% maupun penyederhanaan tarif pajak orang pribadi ke dalam tiga lapisan dinilai dapat mempercepat laju pertumbuhan ekonomi sekitar 2%-3% per tahun.
“Berdasarkan data yang tercatat, selama tiga bulan terakhir pertumbuhan ekonomi AS sudah menunjukkan kenaikan hingga sebesar 0,7%,”ungkapnya, Senin (1/5).
Pro kontra atas rencana reformasi pajak Trump terus bergulir, berdasarkan hasil survei nasional yang diprakarsai oleh Polling Bisnis dan Ekonomi Florida Atlantic University (FAU), dikatakan bahwa dari 812 orang yang disurvei, sebanyak 34% mendukung rencana tersebut, 41% menentang rencana Trump dan 25% ragu-ragu atas rencana tersebut.
“Lebih dari 40% tidak setuju dengan gagasan bahwa menurunkan tarif pajak individu maupun perusahaan dapat merangsang dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi AS,” ungkap juru bicara dari FAU seperti dilansir dalam palmbeachpost.com.
Walaupun rencana reformasi pajak akan diterapkan di AS, kebijakan tersebut dinilai akan menimbulkan dampak ekonomi secara global. Peneliti Pajak DDTC Bawono Kristiaji menjelaskan bahwa akan ada potensi yang membahayakan dari rencana kebijakan Trump tersebut.
Sebagai kekuatan ekonomi nomor satu dunia, lanjut Bawono, langkah AS menurunkan tarif pajak tersebut dinilai akan mendapat respons cepat dari berbagai negara besar dan kelompok-kelompok ekonomi dunia lainnya.
“Negara lainnya juga akan mengambil langkah dengan menurunkan tarif pajak korporasinya. Pasalnya, selama ini perekonomian dunia berada dalam keseimbangan dengan AS menerapkan pajak korporasi yang paling tinggi,” kata Bawono.
Ketika AS memutuskan untuk menurunkan pajak korporasinya, langkah paling logis bagi negara-negara lain seperti China, Uni Eropa, dan BRICS adalah membalas (counter measure) kebijakan serupa. Menurut Bawono, kondisi semacam itu akan menciptakan disorder baru.
"Apabila AS jadi menurunkan corporate tax menjadi 15%, sementara Indonesia tetap pada level 25%, yang terjadi adalah restrukturisasi bisnis akan dilakukan oleh perusahaan asal negeri Paman Sam tersebut. Perusahaan tersebut akan memilih untuk membayar pajak di AS ketimbang di Indonesia," pungkasnya.
Artikel 4.
Penerapan PPN akan Menekan Bisnis di Negara GCC
JAKARTA, DDTCNews – Lembaga Pemeringkat Jasa Keuangan Fitch Ratings menilai pemberlakuan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang akan diterapkan di negara-negara Teluk (Gulf Cooperation Council/GCC) akan menciptakan risiko operasional dan keuangan bagi perusahaan. Tidak hanya itu, arus kas di beberapa industri juga akan mengalami tekanan akibat adanya penyesuaian pasar.
Berdasarkan laporan Fitch Ratings proses mengumpulkan dan menyerahkan PPN kepada pemerintah juga patut untuk diperhatikan. Pasalnya, hal ini akan menambah biaya kepatuhan bagi perusahaan-perusahaan yang memiliki margin tipis, sehingga dapat mempengaruhi arus kas perusahaan.
“Persaingan sengit di beberapa sektor juga dapat menempatkan tekanan pada perusahaan untuk memotong harga sebelum pajak dan menyerap beberapa biaya yang dikeluarkan. Hal ini kemungkinan besar dapat terjadi di sektor-sektor seperti telekomunikasi, konsultan dan kontraktor dan akan berbeda di setiap negara,” ungkap pernyataan tertulis dalam laporan Fitch Ratings, (15/2).
Pemerintah di negara-negara GCC telah sepakat untuk memungut PPN pada awal 2018. Beberapa negara GCC juga sepakat untuk menerapkan pajak selektif pada produk tembakau dan minuman ringan tahun lalu. Hal ini dilakukan untuk meningkatkan penerimaan dari sektor non-minyak telah menjadi prioritas bagi negara GCC yang telah merasakan tekanan keuangan akibat anjloknya harga minyak dari puncak pertengahan 2014.
Meskipun secara perlahan harga minyak mulai membaik, namun Pemerintah di negara GCC akan terus menjalankan langkah-langkah penghematan dan melakukan reformasi untuk mengurangi ketergantung terhadap penerimaan dari minyak dunia.
Menurut Fitch Ratings, seperti dilansir dalam Meed, risiko jangka panjang dari penerapan PPN adalah adanya potensi kesalahan dalam mengumpulkan dan perhitungan pajak. Kendati demikian, dampak ini dapat diminimalisir apabila negara-negara anggota GCC membuat Undang-Undang nasionalnya sendiri untuk lebih memperkuat penerapan PPN di negaranya.
Fitch Ratings menambahkan nantinya perusahaan yang terlibat dalam memasok barang dan jasa antara anggota GCC ini, kemungkinan besar akan menghadapi kompleksitas tambahan karena perjanjian antara anggota GCC bisa bervariasi.
Di sisi lain, penerapan PPN menjadi salah satu yang penting dalam meningkatkan penerimaan negara. Indonesia sendiri telah mengimplementasikan sistem PPN sejak 1985 untuk menggantikan sistem pajak penjualan yang diterapkan sebelumnya. Walaupun telah menerapkan sejak lama namun masih banyak permasalahan yang timbul dari diterapkannya PPN khususnya bagi kegiatan usaha.
Guna mengembangkan pemahaman lebih mendalam mengenai konsep dan penerapan PPN khususnya di sektor-sektor tertentu seperti sektor pertambangan, jasa keuangan, dan lain-lain, DDTC Academy menyelenggarakan seminar bertajuk Pajak Pertambahan Nilai (PPN) Indonesia Tingkat Lanjut - Isu Terpilih pada pekan depan, Selasa 14 Maret 2017.
Sumber :
-          http://news.ddtc.co.id/artikel/8195/pajak-internasional-memahami-persoalan-pajak-global/
-          http://news.ddtc.co.id/artikel/10025/pajak-internasional-mengulik-harta-karun-di-negara-tax-havens/
-          http://news.ddtc.co.id/artikel/10019/amerika-serikat-ini-dampak-reformasi-pajak-trump-bagi-ekonomi-as-dan-dunia/
-          http://news.ddtc.co.id/artikel/9507/negara-negara-teluk-penerapan-ppn-akan-menekan-bisnis-di-negara-gcc/

-           

Tidak ada komentar:

Posting Komentar